Categories
Artikel

Pawukon

Manuskrip Serat Pawukan koleksi Museum Radyapustaka menjelaskan bahwa Pawukon sebagai penanggalan  masyarakat Jawa yang usianya ribuan hingga belasan ribu tahun yang lalu. Menggunakan dasar perubahan rotasi yang terjadi dalam waktu setiap 7 hari (sapta wara) yang dimulai dari hari redite (minggu) sampai hari tumpak (sabtu). Pawukon bersandar pada konsep astronomi dan membaginya menjadi 30 wuku. Tiap wuku bergeser tiap 7 hari sehingga dalam satu rotasi wuku terdiri dari 210 hari (7 hari x 30 wuku). Manuskrip Pawukon Jawi yang dibuat pada era Keraton Kartasura (abad XVII) yang dikoleksi Museum Brojobuwono memberikan penjelasan yang sama dan menambahkan dengan ilustrasi gambar tiap-tiap wuku dengan baik. Tiap-tiap wuku disimbolkan pada figur keluarga Prabu Watu Gunung, yaitu: Prabu Watu Gunung sendiri, 2 orang istrinya (Sinta dan Landhep), beserta 27 putra-putranya yang bernama : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julung Wangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mondosio, Julung Pujud, Pahang, Kuruwelud, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wayang, Wugu, Kulawu, dan Dukut.(periksa pula Sudhartha, 2008; Tanojo, 1962; Ranoewidjojo, th 2009).

Manuskrip Pawukon (koleksi Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat) telah memberikan penjelasan secara mendetail tiap-tiap wuku, demikian pula yang tertera dalam Kitab Centini yang dibuat pada era Susuhunan Paku Buwana IV menjelaskan bahwa tiap-tiap nama Pawukon memiliki tanda-tanda, sifat, dan makna tertentu yang disimbolkan melalui nama-nama dewa yang menaunginya. Sifat-sifat dewa itulah yang digunakan sebagai dasar penentuan aktifitas daur hidup dan kematian masyarakat pendukungnya. Pawukon digunakan sebagai dasar dalam penentuan musim dengan bersandar pada tanda alam sehingga, Pawukon sebagai dasar musim tanam, musim panen dan jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam para petani yang populer disebut “Pranatamangsa”. Pawukon digunakan sebagai dasar menengarai perubahan cuaca (angin barat dan angin timur) untuk para nelayan, selain itu digunakan sebagai dasar musim ikan sebagai hasil tangkapan. Lebih jauh Pawukon digunakan sebagai dasar setiap aktifitas daur hidup dari kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, perayaan hari-hari besar, upacara adat dan upacara keagamaan, dan lain sebagainya hingga upacara kematian (Hadikoesoema, 1985; Periksa pula Sudhartha, 1958).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *