Categories
Novel Nusantara Quantum

Bab Pembuka : Tanda Tanda Alam – Bagian 1

  1. Bagian 1: Rumah Tua

Aji Darmawan duduk di kursi kayu tua yang berderit, menatap layar laptop di meja ruang tengah rumah joglo keluarganya di kampung Laweyan, Solo. Cahaya bohlam kuning yang redup memantul dari lantai tegel cokelat tua, menerangi laporan di layarnya: Non-Observation of Predicted Quantum Resonance in High-Energy Collisions. Kalimat-kalimat itu, yang ditulisnya dengan susah payah di laboratorium CERN, Swiss, kini terasa seperti batu nisan bagi kariernya. Dua tahun penelitian, jutaan dolar, dan ratusan jam simulasi komputer, hanya untuk menghasilkan data kosong—tidak ada resonansi, tidak ada terobosan. Di usia 38 tahun, Aji seharusnya berada di puncak: fisikawan kuantum Indonesia pertama yang diundang ke CERN, nama yang disebut-sebut di jurnal-jurnal internasional. Tapi malam ini, di rumah tua yang penuh kenangan, ia merasa seperti wayang yang tali-talinya telah diputus, tak lagi tahu ke mana laku-nya—perjalanan hidup yang pernah ayahnya ceritakan dengan penuh makna.

Aroma kapur barus dari lemari pakaian tua menyengat hidungnya, bercampur dengan bau kayu jati yang lapuk dari tiang-tiang joglo. Ukiran kuno bergambar bunga teratai dan burung garuda menghiasi tiang itu, dulu sering disentuhnya saat kecil, mengagumi detailnya sambil mendengar ayahnya bercerita. Di dinding, foto keluarga pudar tergantung miring: Aji kecil, berusia enam tahun, berdiri di samping ayahnya, Pak Darmo, yang mengenakan beskap Jawa, dan ibunya, Bu Sari, tersenyum dalam kebaya sederhana. Pak Darmo adalah dalang amatir, pria yang gemar bicara tentang ilmu titen—kepekaan terhadap tanda-tanda alam. “Jagad iki ngomong, Ji,” katanya dulu, suaranya lembut seperti alunan gamelan. “Tanda-tanda sing nuduhake laku-mu. Kowe kudu ngrungokno karo ati.” Aji kecil hanya tertawa, menganggap itu dongeng untuk menghibur anak kampung. Kini, kenangan itu terasa seperti pisau tumpul, mengorek luka yang tak pernah sembuh.

Aji menoleh ke jendela kayu yang terbuka, membiarkan angin malam membawa suara adzan magrib dari masjid terdekat. Di kejauhan, gemerincing gamelan dari rumah tetangga mengalir pelan, melantunkan melodi Pangkur yang dulu sering dimainkan ayahnya. Di luar, pohon kamboja di halaman menjatuhkan bunga putih ke tanah berbatu, diterangi sinar bulan yang samar. Suara anak-anak bermain layang-layang di jalan kampung yang sempit terdengar sayup, kontras dengan kesunyian yang menyelimuti ruangan. Aji merasa asing di tempat yang seharusnya rumah—terasing dari Solo, dari budaya Jawa yang dulu begitu dekat, dari dirinya sendiri. Sains, yang ia peluk sejak remaja, seharusnya memberi jawaban. Persamaan Schrödinger, prinsip ketidakpastian Heisenberg, keterkaitan kuantum—semua itu menjanjikan kejelasan. Tapi setelah kegagalan di CERN, dunia partikel subatomik yang ia kejar justru terasa seperti cermin kekosongan hatinya.

Ia bangkit, berjalan pelan ke almari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya, keris pusaka keluarga terpajang, gagangnya dihiasi ukiran naga yang tampak hidup di bawah cahaya bohlam. Keris itu milik ayahnya, warisan dari kakeknya, yang konon dibuat oleh empu legendaris di era Mataram. “Keris iki ora mung senjata, Ji,” kata Pak Darmo dulu, matanya berbinar. “Iki titen, penjaga kawruh leluhur. Yen kowe bisa ngrungokno, keris iki bakal ngomong.” Aji menggeleng, mencoba menepis kenangan itu. Saya fisikawan, bukan dukun, gumamnya dalam hati. Tapi saat jari-jarinya menyentuh kaca almari, ia merasa getaran halus, seperti arus listrik yang tak bisa dijelaskan. Ia menarik tangan, menganggapnya ilusi dari kelelahan perjalanan jauh.

Aji kembali ke kursi, membuka email di laptopnya. Pesan dari kolega di CERN, Dr. Sarah Chen, menanyakan kapan ia kembali ke lab. “We need your brain, Aji,” tulisnya. “The resonance data might still have something.” Aji tersenyum kecut. Otaknya, yang terlatih memecahkan integral kompleks dan memodelkan perilaku partikel, kini terjebak dalam pertanyaan yang tak ada di buku teks: Untuk apa semua ini? Ia menutup laptop, merasa ruangan itu semakin pengap. Aroma kapur barus, suara gamelan, bunga kamboja yang jatuh—semuanya seperti berbisik, mengingatkannya pada sesuatu yang ia kubur sejak lama.

Malam itu, setelah Bu Sari menyajikan teh pahit dan pisang goreng yang masih hangat, Aji berbaring di kamar lamanya. Dindingnya masih dihiasi poster Albert Einstein yang mulai mengelupas, peninggalan masa remajanya ketika ia bermimpi mengubah dunia dengan fisika. Kasur kapuk terasa keras di punggungnya, tapi kelelahan akhirnya menariknya ke dalam tidur. Lalu, mimpi datang.

Dalam kegelapan, sebuah keris Jawa melayang di hadapannya, mata pisaunya bercahaya seperti bintang, memancarkan getaran yang membuat jantungnya berdegup kencang. Cahayanya membentuk pola-pola aneh, seperti fungsi gelombang kuantum yang pernah ia pelajari, berputar dan bergoyang dalam ruang tak terbatas. Tiba-tiba, langit dalam mimpinya menjadi terang benderang, seolah malam telah lenyap. Seekor burung hantu terbang melintasi matahari, sayapnya mengepak pelan, mata kuningnya menembus jiwa Aji dengan tatapan yang tajam, seolah berkata: Kowe dipilih. Aji tersentak bangun, napasnya tersengal, keringat membasahi dahinya. Ia menatap jam dinding: pukul tiga pagi. Jantungannya tak kunjung reda.

Ia bangkit, berjalan ke jendela kamar. Di luar, bunga kamboja berserakan di halaman, diterangi bulan purnama yang pucat. Aji teringat cerita ayahnya tentang titen—tanda-tanda alam yang membawa weling, pesan dari alam gaib. Burung hantu di siang hari, kata Pak Darmo, adalah pertanda besar, panggilan untuk memulai laku—perjalanan spiritual yang mengubah hidup. Aji menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Ini cuma mimpi, gumamnya. Aktivitas neuron acak. Bukan apa-apa. Tapi di lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang bergerak, seperti partikel kuantum yang tak bisa diprediksi namun saling terhubung dalam entanglement. Pikiran ilmiahnya memberontak, tetapi getaran dari mimpi itu tetap melekat, seperti bisikan yang tak bisa ia abaikan.

Pagi harinya, Aji duduk di beranda rumah, menyeruput kopi tubruk yang disajikan Bu Sari. Ibunya, mengenakan kebaya sederhana dengan rambut disanggul rapi, menatapnya dengan penuh perhatian. Di luar, jalan kampung mulai ramai: anak-anak berlarian dengan layang-layang, pedagang keliling menjajakan bakpao, dan suara sepeda motor berderu di kejauhan. Aji menatap cangkir kopinya, pikirannya masih dipenuhi bayangan keris dan burung hantu. Bu Sari, yang selalu bisa membaca wajahnya, memecah keheningan.“

Ji, kok resah?” tanyanya, suaranya lembut tapi tegas. “Dari kemarin matamu kosong. Apa yang mengganggumu, Nak?”

Aji menghela napas, ragu untuk berbagi. “Bukan apa-apa, Bu. Cuma… kerjaan di Swiss nggak sesuai harapan. Eksperimen saya gagal total. Rasanya semua yang saya kejar selama ini nggak ada artinya.”

Bu Sari tersenyum, kerutan di wajahnya menceritakan tahun-tahun penuh cerita. “Kamu mirip Bapakmu, Ji. Selalu nyari jawaban. Tapi Bapak bilang, kadang jawaban itu nggak di buku atau mesin, tapi di hati. Pernah dengar titen?”

Aji tertawa kecil, skeptis. “Titen? Itu kan cerita Bapak tentang tanda-tanda alam. Bu, saya fisikawan. Saya cuma percaya data, bukan mimpi atau burung-burung.”

Bu Sari mengangguk, tak tersinggung. “Bapakmu juga bilang gitu dulu, sebelum dia belajar laku. Malam ini kamu mimpi apa, Ji? Matamu bilang ada sesuatu.”

Aji menatap cangkir kopinya, ragu. Gambar keris bercahaya dan mata burung hantu masih terpampang di pikirannya, begitu nyata hingga terasa seperti lebih dari sekadar mimpi. “Cuma mimpi aneh, Bu,” katanya akhirnya. “Keris… dan burung hantu terbang di siang hari. Tapi itu nggak berarti apa-apa, kan?”

Bu Sari menegak, alisnya terangkat. “Burung hantu di siang hari?” Suaranya serius sekarang. “Itu titen, Ji. Bapak bilang, alam ngomong lewat weling. Jangan abaikan, Nak. Mungkin ini panggilan untuk laku-mu.”

Aji menggeleng, tapi keyakinannya goyah. “Bu, zaman sekarang nggak ada yang percaya beginian. Saya cuma perlu istirahat. Besok saya jalan-jalan ke Pasar Gede, mungkin bisa bantu pikiran saya.”

Bu Sari tak menjawab, hanya menatapnya dengan senyum penuh makna, seolah tahu sesuatu yang Aji belum pahami. Aji menyesap kopinya, merasakan pahitnya menyengat lidah. Di luar, layang-layang melayang tinggi di langit pagi, bebas namun terikat pada benang yang tak terlihat. Aji tak bisa menepis perasaan bahwa mimpinya, entah bagaimana, adalah benang serupa—sesuatu yang menariknya ke arah yang tak ia duga. Ia bangkit, memutuskan untuk pergi ke Pasar Gede, didorong oleh resah yang tak bisa ia jelaskan, dan mungkin, sedikit rasa ingin tahu tentang titen yang pernah ayahnya ajarkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *