Yogyakarta, 15 Maret 2026. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu, menyapu meja kecil di sudut kafe Warung Makan Bu Tini. Aroma kopi robusta dan nasi goreng bercampur dengan suara deru sepeda motor yang melintas di Jalan Malioboro. Di tengah hiruk-pikuk itu, Arya Wicaksana duduk sendirian, menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Di depannya, secangkir kopi hitam mulai dingin, uapnya lenyap seperti kenangan yang ia coba kubur.
Arya, 38 tahun, bukan lagi pria yang dulu. Dulu, ia adalah bayangan di lorong-lorong gelap, agen intelijen yang bergerak tanpa suara, melacak musuh negara dengan presisi pisau bedah. Kini, ia hanyalah konsultan keamanan swasta, menjalani hari-harinya di Yogyakarta dengan rutinitas sederhana: mengecek sistem keamanan klien, minum kopi, dan menghindari masa lalu. Rambutnya yang mulai memutih di pelipis dan garis-garis halus di wajahnya menceritakan kisah yang tak pernah ia bagi—misi yang gagal, rekan yang hilang, dan pengkhianatan yang masih menghantui.
Ponselnya bergetar, menariknya kembali ke dunia nyata. Sebuah notifikasi dari aplikasi berita: “Skandal Menteri Rayhan Pratama: Bukti Suap Mengguncang Koalisi Nasional!” Arya mengklik tautan itu, lebih karena kebiasaan daripada rasa ingin tahu. Layar menampilkan video buram yang seolah diambil dari kamera tersembunyi. Dalam video itu, Rayhan Pratama, Menteri Koordinator Visi Indonesia Emas 2045, duduk di ruangan mewah, menerima koper penuh uang dari pria bertopeng. Suara Rayhan, atau sesuatu yang sangat mirip, bergema: “Ini akan memastikan proyek tetap di jalur, asal kau tutup mulut.”
Arya memicingkan mata. Rayhan Pratama bukan nama asing. Pria itu adalah arsitek di balik Visi Indonesia Emas 2045, rencana ambisius untuk menjadikan Indonesia kekuatan global melalui transformasi digital, pendidikan, dan sumber daya manusia. Koalisi nasional yang ia bentuk—perpaduan partai-partai besar yang jarang akur—adalah fondasi stabilitas politik yang rapuh namun krusial. Skandal seperti ini bukan sekadar gosip; ini adalah bom yang bisa meledakkan semua yang telah dibangun.
Tapi ada sesuatu yang salah dengan video itu. Arya, yang pernah menghabiskan malam-malam panjang menganalisis rekaman intelijen, tahu instingnya tak pernah bohong. Gerakan bibir Rayhan tidak sepenuhnya sinkron dengan suara. Bayangan di dinding ruangan terlihat… tidak wajar, seolah ditambahkan. Dan mata pria bertopeng itu—terlalu statis, seperti boneka. Ini bukan rekaman asli. Ini deepfake, dibuat dengan teknologi AI generatif yang canggih.
Arya menyeruput kopinya, mencoba mengabaikan rasa gelisah yang mulai merayap. “Bukan urusanku,” gumamnya pada diri sendiri. Ia telah meninggalkan dunia intelijen lima tahun lalu, setelah misi di Kuala Lumpur yang berakhir dengan kematian dua rekannya. Pengkhianatan dari dalam timnya sendiri—seseorang yang ia anggap saudara—telah mematahkan semangatnya. Ia bersumpah tak akan kembali, tak peduli seberapa besar ancamannya.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal, tapi kode wilayahnya Jakarta. Arya mengabaikannya, tetapi panggilan itu datang lagi, dan lagi. Akhirnya, dengan nada kesal, ia menjawab, “Siapa ini?”
“Masih suka kopi Bu Tini, ya, Arya?” Suara di ujung telepon itu dalam, berwibawa, dan sangat dikenalnya. Kolonel (Purn.) Bima Santoso, mantan atasannya di Badan Intelijen Negara. Pria yang pernah menyelamatkan nyawa Arya, dan yang juga tahu cara menekan tombol yang tepat untuk membuatnya bergerak.
“Bima,” kata Arya, suaranya datar. “Aku sudah bilang, aku selesai. Cari orang lain.”
“Kau lihat berita tentang Rayhan?” Bima tak membuang waktu. “Ini bukan sekadar skandal. Ini serangan terkoordinasi. Dan kau tahu itu bukan rekaman asli.”
Arya diam, jari-jarinya menggenggam ponsel lebih erat. “Banyak orang bisa menangani ini. BSSN, polisi siber, siapa saja. Kenapa aku?””Karena kau yang terbaik dalam kontra-espionase, Arya. Dan karena ini bukan cuma soal deepfake. Ada pola—serangan digital yang menargetkan tokoh-tokoh kunci koalisi. Rayhan hanyalah permulaan. Jika kita tidak menghentikannya, Visi 2045 akan runtuh sebelum sempat dimulai.”
Arya menatap ke jalanan di luar kafe. Seorang pedagang kaki lima mendorong gerobak bakpao, anak-anak sekolah berlari sambil tertawa, dan sepeda motor melaju dengan knalpot berderit. Indonesia, tanah yang ia cintai dan pernah ia pertaruhkan nyawanya untuknya, sedang bergerak menuju sesuatu yang besar. Visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar jargon politik; itu adalah janji untuk generasi mendatang, untuk menjadikan Indonesia pemimpin di era singularitas AI, ketika teknologi akan mengubah dunia lebih cepat dari yang bisa dibayangkan siapa pun. Tapi janji itu rapuh, dan Arya tahu betul betapa mudahnya sebuah bangsa bisa dijatuhkan dari dalam.
Ia pernah membaca laporan intelijen lama, spekulasi tentang ketakutan negara-negara maju—AS dan sekutu-sekutu Eropanya—terhadap kebangkitan negara berkembang. Jika Indonesia, dengan sumber daya alamnya, posisi geopolitiknya, dan bonus demografinya, benar-benar menjadi kekuatan global pada 2045, itu bisa mengguncang keseimbangan ekonomi dunia. Negara-negara maju, yang selama ini menikmati dominasi, bisa kehilangan pendapatan, pengaruh, bahkan status mereka. Dalam dunia intelijen, ketakutan seperti itu bukan sekadar teori—itu adalah alasan untuk bertindak, untuk menyabotase, untuk memastikan status quo tetap utuh.
“Aku bukan pahlawan, Bima,” katanya, suaranya parau. “Dan aku tidak percaya pada visi-visi besar lagi.”
Bima tertawa kecil, suara yang hangat namun penuh perhitungan. “Kau boleh menipu dirimu sendiri, tapi kau tak bisa menipu instingmu. Aku tahu kau sudah memeriksa sendiri video itu. Apa yang kau temukan?”
Arya menghela napas. Bima selalu tahu cara memojokkannya. “Metadata menunjukkan video itu diunggah dari server di negara Eropa. Enkripsi tingkat militer. Ini bukan pekerjaan amatir.”
“Persis itulah kenapa aku membutuhkanmu,” kata Bima. “Ini bukan sekadar hoaks. Ini operasi intelijen. Dan jika kita tidak bertindak cepat, Indonesia akan terbakar dari dalam. Aku kirim detailnya ke emailmu. Baca, lalu putuskan. Tapi jangan terlalu lama, Arya. Waktu bukan teman kita.”
Panggilan terputus, meninggalkan Arya dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara pelayan kafe yang menawarkan tambah kopi. Ia menatap ponselnya, jari-jarinya ragu-ragu di atas aplikasi email. Bagian dirinya yang ingin melupakan masa lalu berteriak agar ia menghapus pesan itu tanpa membacanya. Tapi bagian lain—bagian yang pernah bersumpah melindungi negeri ini—sudah terbangun, dan ia tahu ia tak bisa mengabaikannya.
Arya membuka laptopnya, perangkat tua yang masih ia gunakan untuk pekerjaan konsultasi. Email dari Bima sudah masuk, dengan subjek: “Kode Merah: Sunset Protocol”. Isinya singkat, tapi setiap kata seperti pukulan: laporan tentang serangan digital yang menargetkan tokoh-tokoh kunci, pola arus informasi yang menyerupai operasi intelijen asing, dan dugaan bahwa skandal Rayhan hanyalah puncak gunung es. Lampiran berisi analisis awal dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), menyebutkan nama seseorang yang sedang menyelidiki serangan ini: Nadia Raharja, ahli data dan AI yang mengembangkan sistem pendeteksi disinformasi.
Arya membaca nama itu dua kali. Nadia Raharja. Ia tak mengenalnya, tapi ada sesuatu tentang profilnya—lulusan terbaik ITB, perintis proyek “Perisai Digital”—yang membuatnya merasa gadis ini akan menjadi kunci. Atau masalah. Dalam dunia intelijen, garis antara keduanya sering kabur.
Ia kembali ke video deepfake di ponselnya, kali ini mengunduhnya ke laptop untuk analisis lebih dalam. Dengan beberapa perintah di terminal, ia menelusuri metadata: timestamp, lokasi unggahan, dan jejak enkripsi. Server asalnya tersembunyi di balik lapisan VPN, tapi ada petunjuk—kode yang mengarah ke negara Eropa, dan protokol enkripsi yang biasa digunakan oleh badan intelijen dengan sumber daya tak terbatas. Ini bukan pekerjaan hacker biasa. Ini operasi tingkat tinggi, dirancang untuk menghancurkan kepercayaan publik dengan presisi bedah.
Arya menutup laptop, hatinya berdetak lebih cepat. Ia tahu apa yang akan terjadi jika skandal ini dibiarkan menyebar. Publik akan terpecah, koalisi nasional akan runtuh, dan Visi Indonesia Emas 2045—dengan semua janji transformasi digital dan pendidikannya—akan menjadi puing sebelum sempat berdiri. Ia pernah melihat skenario seperti ini di negara lain: polarisasi, kerusuhan, dan akhirnya kekacauan. Indonesia tidak boleh menjadi yang berikutnya. Tidak, jika ia masih punya kekuatan untuk mencegahnya.
Tapi kenapa aku? pikirnya, jari-jarinya meremas cangkir kopi kosong. Ia bukan lagi pria yang percaya pada misi mulia. Trauma Kuala Lumpur masih menghantuinya: wajah rekan-rekannya, darah di lantai, dan suara pengkhianat yang ia anggap saudara. Ia telah bersumpah untuk tidak kembali, untuk tidak lagi mempertaruhkan hati dan jiwanya untuk permainan yang selalu berakhir dengan pengorbanan
Namun, di sudut kafe, televisi kecil menyiarkan berita terbaru. Kerumunan demonstran di Jakarta, wajah-wajah penuh amarah, spanduk yang menuntut Rayhan mundur. Kamera beralih ke wajah Rayhan di konferensi pers, matanya lelah tetapi penuh tekad. “Saya tidak akan mundur,” katanya. “Visi Indonesia Emas adalah milik rakyat, bukan permainan politik.”
Arya memejamkan mata, mencoba menutup suara itu. Tapi ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa ia tidak bisa lari lagi. Bima benar: instingnya tak pernah bohong. Dan insting itu kini berteriak bahwa apa pun yang terjadi—apa pun “Sunset Protocol” itu—akan mengubah Indonesia selamanya jika ia tidak bertindak. Ia bukan pahlawan, tapi ia juga bukan penutup mata yang rela membiarkan negerinya jatuh hanya karena ketakutan masa lalu.
Ia membuka ponselnya, mengetik pesan singkat ke Bima: “Aku masuk. Kirim detail misi.”
Di luar, matahari Yogyakarta naik lebih tinggi, menyinari kota yang masih damai. Tapi Arya tahu, di balik kedamaian itu, sebuah badai sedang berkumpul—badai yang tak terlihat, dibuat dari kode, kebohongan, dan ambisi gelap. Dan ia, mau tak mau, akan berjalan langsung ke pusarannya
Categories
Bab 1: Serangan Pertama
